Seorang Ibu dan Biaya Pendidikan Anaknya

* Oleh : Ahmad Syarifuddin

Alumni Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang

Imam Malik bin Anas di masa kecil dipesan oleh ibundanya, “Anakku. Pergilah ke Rabiah. Pelajarilah adabnya sebelum engkau belajar ilmunya.” Az- Zubairi menuturkan, “Aku melihat Malik pada halaqah Rabiah, dan pada telinganya ada anting-anting.” Yakni, Imam Malik tampak semenjak kanak-kanak telah ber- mulazamah pada halaqah keilmuan yang diampu oleh Rabiah. Siapakah Rabiah, guru besar dari pemuka ulama kota Madinah ini? Dia adalah Rabiah bin Abu Abdirrahman Ar- Ra’yi.

Untuk mendidik Rabiah, ibundanya telah menghabiskan uang titipan suami, Farrukh, sebanyak 30.000 dinar (1 dinar setara 4,5 gram emas). Dana yang cukup besar. Adapun sang suami pergi berjihad fi sabilillah dalam jangka waktu sangat lama di luar negeri, dan tidak kembali kecuali setelah putranya matang kedewasaan dan keilmuannya. Dua hal ini dibeli oleh ibunda Rabiah Ar-Ra’yi dengan harta suaminya. Sang suami ridla atas pembelanjaannya dan dengan perniagaannya ini ia menuai keuntungan yang melimpah.

Dikisahkan bahwa Farrukh, ayahanda Rabiah Ar-Ra’yi ikut serta dalam ekspedisi pasukan kaum muslimin untuk berjihad ke Khurasan pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Ia meninggalkan uang sebanyak 30.000 dinar untuk istrinya. Saat itu sang istri tengah mengandung Rabiah.

 

Setelah lewat 27 tahun, Farrukh sang mujahid kembali ke Madinah sembari menunggang kuda dengan tombak di tangan. Sesampainya di rumah, ia turun dari kuda lalu mendorong pintu rumah dengan tombak tadi. Sontak, Rabiah muda yang merasa asing dengan orang ini, segera keluar seraya membentaknya, “Hai musuh Allah! Engkau hendak membobol rumahku?!” “Tidak!!!” sahut Farrukh yang balik membentak, “Hai musuh Allah! Jadi kamu lelaki asing yang berani mengganggu istriku?”

Keduanya saling menyerang dan bergumul dalam perkelahian hebat hingga para tetangga datang berkerumun. Keduanya saling mengatakan, “Aku tidak akan melepaskanmu.” Orang-orang ribut membicarakan hal itu. Akhirnya kabar ini sampai ke telinga Imam Malik bin Anas-salah seorang murid Rabiah- dan beberapa tokoh lainnya. Mereka pun datang membantu Rabiah.

Tatkala menyadari ada Imam Malik, kerumunan massa kembali tenang. Imam Malik berucap, “Wahai Pak Tua!! Engkau boleh tinggal di mana saja selain rumah ini.” “Ini rumahku. Aku Farrukh?!,” ujar Pak Tua. Kata-kata Farrukh ini terdengar oleh istrinya dari dalam rumah. Maka ia bergegas keluar dan berkata, “Orang ini adalah suamiku, dan pemuda ini adalah putraku yang telah ditinggalkannya saat aku mengandungnya…” Akhirnya keduanya saling berpelukan dan menangis. Massa pun bubar meninggalkan keduanya. Farrukh masuk rumah seraya bertanya heran, “Benarkah ini anakku?” “Benar,” jawab istrinya. Farrukh pun tenggelam dalam pembicaraan bersama istrinya. la asyik bercerita tentang pengalaman jihadnya selama ini, dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun, sang istri tidak bisa menikmati ceritanya. la digelayuti fikiran yang tiba-tiba muncul Kebahagiaannya dalam benaknya. berkumpul dengan sang suami dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan yang telah habis untuk membiayai pendidikan putranya.

Dan apa yang dikhawatirkannya itu terjadi juga. Tiba-tiba Farrukh menoleh kepadanya, “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang kutitipkan padamu dahulu. Mari kita kumpulkan semua lalu kita belikan kebun atau rumah.” Ibunda Rabiah pura-pura sibuk dan tak menjawab. Farrukh mengulangi lagi permintaannya, “Ayo lekaslah, mana uang itu?!” “Uang itu telah kusimpan di tempat yang aman…, nanti akan kukeluarkan beberapa hari lagi, insya’allah,” jawab istrinya.

Pembicaraan keduanya pun terputus lantara adzan berkumandang. Kemudian Rabiah keluar menuju masjid, dan ia duduk di halaqahnya. Tak lama berselang, datanglah Imam Malik, Hasan Al-Bashri, dan para pemuka penduduk Madinah, serta hadirin berkumpul mengelilingi Rabiah untuk menimba ilmu.

Di rumah, ibunda Rabiah berkata kepada Suaminya, Farrukh, “Berangkatlah dan shalatlah di Masjid Nabawi.” Farrukh pun berangkat. Di masjid Nabi itu ia melihat halagah yang penuh sesak oleh hadirin. la segera mendatanginya dan berhenti di dekatnya. Rabiah menundukkan kepala seakan mengisyaratkan bahwa ia belum pernah melihat lelaki tersebut, dan ia mengenakan peci yang Ayahandanya, Farrukh, merasa ragu dengan apa yang disaksikannya. Ia lalu bertanya ke sebelah, “Siapa laki-laki itu?” “Itu adalah Rabiah bin Abu Abdurrahman,” jawab sebelahnya.

Farukh pun berucap, “Sungguh Allah telah mengangkat derajat putraku.” Kemudian ia pulang ke rumah seraya berkata kepada ibunda Rabiah (istrinya), “Sungguh aku melihat putramu dalam suatu keadaan yang tak pernah dicapai oleh seorang pun dari kalangan ahli ilmu dan fiqh.”

Momentum ini dimanfaatkan oleh ibunda Rabiah. Ia bertanya, “Manakah yang lebih engkau sukai, uang 30.000 dinar dulu itu, atau yang barusan kamu lihat tentang putramu?” Farrukh menjawab, “Tidak. Demi Allah, aku lebih menyukai hal ini.” “Ketahuilah suamiku… Aku telah menghabiskan semua uang itu untuk pendidikan putramu,” kata ibunda Rabiah. Farrukh menimpali, “Demi Allah, kalau begitu engkau tidak menyia-nyiakannya.”

Dari kisah ini, di balik kemunculan tokoh besar mestilah ada seorang ibu yang rela berkorban dan mengeluarkan biaya yang cukup untuk pendidikan anak- anaknya. Imam Malik bin Anas, Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Asy-Syafii, Imam Al-Bukhari, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Abu Yazid Al- Busthami, dan ulama-ulama besar lainnya semisal Rabiah Ar-Ra’yi tumbuh dari sentuhan ibunda-ibunda mereka yang luar biasa. Ibu-ibu yang berprinsip: “BONDO, BAHU, PIKIR, LEK PERLU SAK NYAWANE PISAN,” untuk pendidikan anak-anaknya. Anak-anak yang dibesarkan dengan peluh, air mata, jantung, dan bahkan darah ibunya.

Biaya untuk pendidikan anak (khususnya menuju pendidikan karakter keshalehan dan kompetensi) bukanlah kesia-siaan dalam pembelanjaan harta, melainkan deposito serta investasi yang tak akan merugi duniawi  dan ukhrawi. Untuk ibu, kupersembahkan doaku.

Scroll to Top